Kamis, 19 April 2012

KISRUH BBM & PILKADA “BBM BELUM NAIK ECERAN NAIK”


Wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) manjadi pembicaraan hangat dikalangan masyarakat. Tentu ini menjadi sebuah dilema bagi pemeritah yang harus mempertimbangan kebijakan kenaikan tersebut, dengan keputusan legislatif melalui perubahan UU APBNP Tahun 2012. Menariknya kenaikan BBM akan dinaikkan jika harga minyak mentah dunia Naik melebihi 15% dari harga sebelumnya.
Lain halnya dengan salah satu kabupaten Tengah Propinsi Aceh minyak eceran yang dijual oleh salah seorang penjual dengan harga 7.000/ liternya, hal yang demikian  juga terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara, dan dibeberapa kabupaten lainnya.  Apalagi ditambah dengan dorongan dari pihak SPBU yang ada diwilayah tersebut mendukung para penjual eceran, dengan cara melayani tanpa ada pembagian yang merata, yang pada akhirnya berdampak pada pelanggan kekosongan minyak pada saat melakukan pengisian di SPBU tersebut.
Dalam kegiatan-kegiatan seminar, pihak PT Pertamina, memiliki asumsi tersendiri bahwa kejadian ini masuk dalam peneyelesaian utama pihak PT Pertamina dengan mereformasi pelayanan, bahkan jika melihat iklan-iklan yang ada ditelevisi, Pertamina sudah berada dalam cakupan perusahaan pemerintah yang melakukan komunikasi baik terhadap masyarakat. Slogan tersebut tidak berlaku di wilayah pelosok daerah, bukan hanya kelangkaan akan tetapi akses untuk mendapatkan minyak saja masih menjadi permasalahan di beberapa wilayah Indonesia.
Ditambah lagi dengan problem lain yang terjadi misalnya persoalan terlambatnya pasokan BBM ke beberapa wilayah Propinsi Aceh, dan ketidaklayakan beroperasinya SPBU yang disinyalir berdampak kepada warga sekitar. Hal ini terkadang membuat elemen masyarakat resah yang merusak kepercayaan publik kepada pemerintah, dalam hal penanganan BBM. Wacana kenaikan harga BBM beberapa bulan yang lalu dikaitkan dengan kepemimpinana SBY, seperti di media Jakarta Pos mahasiswa berdemontrasi dengan poster “BBM Naik SBY Turun”, dan di daerah Sumatera Utara yang Rusuh sampai terjadi keos merusak fasilitas umum seperti bandara pulonia, dan fasilitas lain yang dilakukan oleh elemen mahasiswa, buruh, tani, dan masyarakat sipil lainnya.
Diwilayah Propinsi Aceh sendiri hal yang demikian belum terjadi, artinya walaupun riuk pikuk demontrasi dimana mana namun kerusuhan masih berada pada posisi aman dan terkendali. Akan tetapi hal yang demikian bukan tidak mungkin terjadi di wilayah Propinsi Aceh, andaikan tidak menjadi pembahasan baik pemerintah tingkat I maupun daerah tingkat II dengan PT pertamina Perwakilan wilayah masing-masing.
Budaya Baca Masyarakat
            Terkadang timbul pertanyaan kenapa masyarakat di beberapa wilayah Propinsi Aceh kurang responsip terhadap masalah-masalah yang terjadi di wilayahnya. Ini menunjukan beberapa persoalan mendasar sebenarnya yang dialami baik elemen mahasiswa, lSM, dan masyarakat sipil lainnya. Salah satu faktor mendasar adalah akses masyarakat terhadap informasi dan budaya membaca yang masih dinilai rendah.
            Ini dapat dilihat dari konsumsi pemberitaan baik melalui media elektronik maupun melalui media masa. Seharusnya akses yang kedua diatas adalah makanan masyarakat sipil, apalagi mahasiswa (Kaum Akademis). Hematnya bingkai pikiran mahasiswa adalah berita, karena dengan mendengar dan melihat berita dapat menimbulkan wacana yang besar dan tersistematis. Terkadang kurangnya membaca juga menimbulkan keambiguan saat melakukan aksi demontrasi, ketidaktahuan mengenai masalah yang diangkat juga menjadi problem pada kaum intelektual maupun masyarakat sipil lainnya. Terkait hal tersebut menarik jika kita pernah mendengar apa yang diwahyukan oleh ALLAH SWT melalui Alqur’an yaitu  “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran penglihatan dan hati semuanya akan diminta pertangggungjawabannya” {Al Isra’ : 36}.
            Akses informasi yang terjadi sebagian wilayah Propinsi Aceh juga faktor yang dominan, bukan hanya dikarenakan jalan yang tidak baik, akan tetapi ketersediaan bahan bacaan juga kurang sepertia media cetak. Jika dibandingkan dengan daerah kota lainnya informasi tesebut sepertinya menjadi hal yang penting untuk dijadikan sebagai bahan diskusi. Dukungan dan dorongan pemerintah daerah sepertinya kurang merespon hal yang demikian, visi dan misi yang mengikuti perkembangan zaman, ternyata tidak sesuai dengan persoalan yang terpenting, yaitu penguatan kapasitas masyarakat sipil melalui pemudahan akses terhadap informasi.
Antara Pilkada & Wacana Kenaikan BBM
            Wacana kenaikan BBM hampir bersamaan dengan pesta demokrasi di berbagai wilayah Propinsi Aceh. Setelah Negara Republik Indonesia digentarkan dengan aksi besar besaran yang di kabarkan bakal menjadi momen kilas balik revolusi disusul dengan konflik pra Pemilukada Propinsi maupun Kabupaten/ Kota se-Aceh. Masyarakat Aceh memfokuskan dirinya untuk menghadapi Pemlikada yang akan berlangsung, riak akan adanya konflik yang kembalipun juga mencuat kepermukaan, kembalinya aceh pada masa lalu dimana terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
            Pada saat yang bersamaan juga pemerintah juga di porsir dengan kebijakan kenaikan BBM, mungkin hemat penulis, ini menjadi kebobolan masyarakat sipil dalam mengawasi kinerja legislatif dan eksekutifnya. Penguatan pengawasan yang dilakukan masyarakat harus ditanamkan dalam benak masyarakat, untuk memberikan pelajaran yang baik dan dapat mengontrol keterwakilannya yang berada di lembaga DPRD baik Propinsi maupun Kabupaten. Kerusuhan yang menimbulkan perusakan terhadap fasilitas umum seperti yang terjadi di Kabupaten Gayo Lues, ini menjadikan bahwa proses pengawasan masyarakat sipil masih jauh dari koneksi, hal ini yang pada akhirnya menyebabkan penyalahgunaan wewewang yang dilakukan lembaga terkait, dilanjutkan dengan Kerusuhan yang berada di Kabupaten Aceh Tengah, DPRD sebagai wakil rakyat tidak mampu membendung kedatangan beberapa masyarakat sekaligus meredam, amarah masa lebih dikendalikan oleh aparatur negara Polri dan TNI.
            Menariknya DPRD diingatkan oleh Kepolisian setempat, ini merupakan suatu indikator bahwa Anggota Dewan juga harus mendapatkan evaluasi dari masyarakat sipil dengan berperan aktif mengawasi kinerja Legislatif maupun Eksekutif. Penguatan kapasitas DPRD Kabupaten/kota seharusnya melakukan peningkatan Sumber Daya Manusianya (SDM) agar komunikasi dengan masyarakatpun tidak berujung pada konflik.

0 komentar:

Posting Komentar