Wacana
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) manjadi pembicaraan hangat dikalangan
masyarakat. Tentu ini menjadi sebuah dilema bagi pemeritah yang harus
mempertimbangan kebijakan kenaikan tersebut, dengan keputusan legislatif
melalui perubahan UU APBNP Tahun 2012. Menariknya kenaikan BBM akan dinaikkan
jika harga minyak mentah dunia Naik melebihi 15% dari harga sebelumnya.
Lain
halnya dengan salah satu kabupaten Tengah Propinsi Aceh minyak eceran yang
dijual oleh salah seorang penjual dengan harga 7.000/ liternya, hal yang
demikian juga terjadi di Kabupaten Aceh
Tenggara, dan dibeberapa kabupaten lainnya.
Apalagi ditambah dengan dorongan dari pihak SPBU yang ada diwilayah
tersebut mendukung para penjual eceran, dengan cara melayani tanpa ada
pembagian yang merata, yang pada akhirnya berdampak pada pelanggan kekosongan
minyak pada saat melakukan pengisian di SPBU tersebut.
Dalam
kegiatan-kegiatan seminar, pihak PT Pertamina, memiliki asumsi tersendiri bahwa
kejadian ini masuk dalam peneyelesaian utama pihak PT Pertamina dengan
mereformasi pelayanan, bahkan jika melihat iklan-iklan yang ada ditelevisi,
Pertamina sudah berada dalam cakupan perusahaan pemerintah yang melakukan
komunikasi baik terhadap masyarakat. Slogan tersebut tidak berlaku di wilayah
pelosok daerah, bukan hanya kelangkaan akan tetapi akses untuk mendapatkan
minyak saja masih menjadi permasalahan di beberapa wilayah Indonesia.
Ditambah
lagi dengan problem lain yang terjadi misalnya persoalan terlambatnya pasokan
BBM ke beberapa wilayah Propinsi Aceh, dan ketidaklayakan beroperasinya SPBU
yang disinyalir berdampak kepada warga sekitar. Hal ini terkadang membuat
elemen masyarakat resah yang merusak kepercayaan publik kepada pemerintah,
dalam hal penanganan BBM. Wacana kenaikan harga BBM beberapa bulan yang lalu
dikaitkan dengan kepemimpinana SBY, seperti di media Jakarta Pos mahasiswa
berdemontrasi dengan poster “BBM Naik SBY Turun”, dan di daerah Sumatera Utara
yang Rusuh sampai terjadi keos merusak fasilitas umum seperti bandara pulonia,
dan fasilitas lain yang dilakukan oleh elemen mahasiswa, buruh, tani, dan
masyarakat sipil lainnya.
Diwilayah
Propinsi Aceh sendiri hal yang demikian belum terjadi, artinya walaupun riuk pikuk
demontrasi dimana mana namun kerusuhan masih berada pada posisi aman dan
terkendali. Akan tetapi hal yang demikian bukan tidak mungkin terjadi di
wilayah Propinsi Aceh, andaikan tidak menjadi pembahasan baik pemerintah
tingkat I maupun daerah tingkat II dengan PT pertamina Perwakilan wilayah
masing-masing.
Budaya Baca Masyarakat
Terkadang timbul pertanyaan kenapa
masyarakat di beberapa wilayah Propinsi Aceh kurang responsip terhadap
masalah-masalah yang terjadi di wilayahnya. Ini menunjukan beberapa persoalan
mendasar sebenarnya yang dialami baik elemen mahasiswa, lSM, dan masyarakat
sipil lainnya. Salah satu faktor mendasar adalah akses masyarakat terhadap
informasi dan budaya membaca yang masih dinilai rendah.
Ini dapat dilihat dari konsumsi
pemberitaan baik melalui media elektronik maupun melalui media masa. Seharusnya
akses yang kedua diatas adalah makanan masyarakat sipil, apalagi mahasiswa
(Kaum Akademis). Hematnya bingkai pikiran mahasiswa adalah berita, karena
dengan mendengar dan melihat berita dapat menimbulkan wacana yang besar dan
tersistematis. Terkadang kurangnya membaca juga menimbulkan keambiguan saat
melakukan aksi demontrasi, ketidaktahuan mengenai masalah yang diangkat juga
menjadi problem pada kaum intelektual maupun masyarakat sipil lainnya. Terkait
hal tersebut menarik jika kita pernah mendengar apa yang diwahyukan oleh ALLAH
SWT melalui Alqur’an yaitu “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran penglihatan dan hati semuanya akan diminta
pertangggungjawabannya” {Al Isra’ : 36}.
Akses informasi yang terjadi
sebagian wilayah Propinsi Aceh juga faktor yang dominan, bukan hanya dikarenakan
jalan yang tidak baik, akan tetapi ketersediaan bahan bacaan juga kurang
sepertia media cetak. Jika dibandingkan dengan daerah kota lainnya informasi
tesebut sepertinya menjadi hal yang penting untuk dijadikan sebagai bahan
diskusi. Dukungan dan dorongan pemerintah daerah sepertinya kurang merespon hal
yang demikian, visi dan misi yang mengikuti perkembangan zaman, ternyata tidak
sesuai dengan persoalan yang terpenting, yaitu penguatan kapasitas masyarakat
sipil melalui pemudahan akses terhadap informasi.
Antara Pilkada & Wacana
Kenaikan BBM
Wacana kenaikan BBM hampir bersamaan
dengan pesta demokrasi di berbagai wilayah Propinsi Aceh. Setelah Negara
Republik Indonesia digentarkan dengan aksi besar besaran yang di kabarkan bakal
menjadi momen kilas balik revolusi disusul dengan konflik pra Pemilukada
Propinsi maupun Kabupaten/ Kota se-Aceh. Masyarakat Aceh memfokuskan dirinya
untuk menghadapi Pemlikada yang akan berlangsung, riak akan adanya konflik yang
kembalipun juga mencuat kepermukaan, kembalinya aceh pada masa lalu dimana
terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
Pada saat yang bersamaan juga
pemerintah juga di porsir dengan kebijakan kenaikan BBM, mungkin hemat penulis,
ini menjadi kebobolan masyarakat sipil dalam mengawasi kinerja legislatif dan
eksekutifnya. Penguatan pengawasan yang dilakukan masyarakat harus ditanamkan
dalam benak masyarakat, untuk memberikan pelajaran yang baik dan dapat
mengontrol keterwakilannya yang berada di lembaga DPRD baik Propinsi maupun
Kabupaten. Kerusuhan yang menimbulkan perusakan terhadap fasilitas umum seperti
yang terjadi di Kabupaten Gayo Lues, ini menjadikan bahwa proses pengawasan
masyarakat sipil masih jauh dari koneksi, hal ini yang pada akhirnya
menyebabkan penyalahgunaan wewewang yang dilakukan lembaga terkait, dilanjutkan
dengan Kerusuhan yang berada di Kabupaten Aceh Tengah, DPRD sebagai wakil
rakyat tidak mampu membendung kedatangan beberapa masyarakat sekaligus meredam,
amarah masa lebih dikendalikan oleh aparatur negara Polri dan TNI.
Menariknya DPRD diingatkan oleh
Kepolisian setempat, ini merupakan suatu indikator bahwa Anggota Dewan juga
harus mendapatkan evaluasi dari masyarakat sipil dengan berperan aktif
mengawasi kinerja Legislatif maupun Eksekutif. Penguatan kapasitas DPRD
Kabupaten/kota seharusnya melakukan peningkatan Sumber Daya Manusianya (SDM)
agar komunikasi dengan masyarakatpun tidak berujung pada konflik.